detektifswasta.xyz – Indonesia
Palembang, – Perkara dugaan Mega korupsi Penjulan Gas bagian negara di Perusahaan Daerah Pertambangan daan Energi (PDPDE) saat ini sedang di audit BPK RI. BPK RI selaku auditor negara melakukan audit investigative atau audit dengan tujuan tertentu untuk menghitung potensi kerugian negara.
BPK RI selaku kantor akuntan negara tidak punya kewenangan untuk memanggil saksi terkait proses audit tertentu dalam hal ini audit investigative. Oleh karena itu pemanggilan saksi terkait dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang telah meminta audit Kerugian Negara kepada BPK RI.
Dinyatakan oleh Kasipenkum Kejati Sumsel, Khaidirman SH MH ketika di konfirmasi awak media, bahwa hingga saat ini tim penyidik Kejati Sumsel yang bekerjasama dengan BPK RI masih berupaya mengungkap kasus dugaan korupsi ratusan miliar. salah satunya dengan memanggil saksi untuk dimintai klarifikasi.
“Tim penyidik memanggil beberapa saksi untuk didengar dan diperiksai serta dimintai keterangan oleh BPK RI diantaranya memanggil Caca Isa Saleh selaku mantan Dirut PDPDE gas ke gedung arsip lantai 7 kantor BPK RI berdasarkan surat perintah pemanggilan bernomor SPS-636/L.6.5/Fd.1/8/2020, serta saksi lainnya yakni Ivo Wankaren selaku Direktur PT. Mulya Tara Mandiri, rencanya dijadwalkan pemanggilannya oleh BPK tanggal (8/9/2020) mendatang, dinyatakan oleh Khaidirman Penkum Kejati Sumsel.
Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sumsel pada tanggal 24 Juni 2020 lalu mendatangi kantor pusat BPK RI di Jakarta untuk mempertanyakan hasil audit Kerugian Negara pada perkara dugaan korupsi ini. Karena penyidik Kajati Sumsel mengajukan permohonan audit pada bulan September 2019 Silam yang di tanda tangani Kasi Pidsus Kajati Sumsel “Hendriyanto SH MH”.
Namun BPK RI hingga Juni 2020 belum juga selesai melakukan audit KN padahal sudah mendekati 1 (satu) tahun. Sehingga perkara dugaan korupsi jual beli gas Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) belum ada perkembangan signifikan atau terkesan mandeg di tengah jalan.
Perkara dugaan korupsi ini berawal dari perjanjian pembelian gas bagian negara oleh Pemprov Sumsel kepada KKS Pertamina Hulu Energi (PHE), Talisman dan Pacific Oil. Perjanjian ini berdasarkan peraturan perundangan dimana kewajiban KKS Jambi Merang memberikan Participacing Interest (PI) kepada Pemprov Sumsel.
Participacing Interest (PI) ini dengan kontribusi yaitu, PHE 50%, Talisman 25% dan Pacific Oil 25%. Bentuk PI yang di berikan oleh KKS Jambi Merang adalah hak membeli gas bagian negara dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sumatera Selatan.
Ujuk – ujuk untuk mendapatkan keuntungan sebesar – besar dalam rangka meningkatkan PAD Provinsi Sumsel namun yg terjadi sebaliknya. Keuntungan terbesar di dapatkan oleh mitra kerjasama PDPDE Sumsel.
Hal ini terjadi karena pembagian saham perusahaan patungan yang dibuat sebagai bentuk kerjasama tidak berimbang. Pemprov Sumsel yang di wakili PDPDE hanya mendapat 15% saham perusahaan patungan sementara Mitra Kerjasama yaitu PT DKLN mendapatkan 85% saham.
Lebih buruk lagi nasib PDPDE selaku pemilik hak membeli gas bagian negara, saham 15% di anggap hutang kepada PT DKLN. Dari keuntungan kotor yg di dapat pada kisaran US$ 2,5 per MMBTU pada penjualan gas bagian negara kepada fihak ketiga, PDPDE hanya mendapat US$ 0,1 per MMBTU dalam bentuk fee penjualan.
Selama masa perjanjian 9 tahun kerjadama, PDPDE mendapatkan fee penjualan Rp. 38 milyar dan mempunyai kewajiban membayar hutang saham Rp. 8,05 milyar kepada PT DKLN. Sementara itu mitra Kerjasama yaitu PT DKLN patut diduga mendapatkan bagian keuntungan bersih kurang lebih US$ 2 per MMBTU.
Perjanjian kerjasama itu juga mewajibkan PDPDE Sumsel menerima orang – orang mitra kerjasama menjadi pengurus perusahaan. “YH” selaku pemegang saham PT DKLN menjadi Dirut PDPDE dan “I” karyawan PT DKLN menjadi Manager di PDPDE dan keduanya di gaji oleh PDPDE.
Ketika di mintai pendapatnya, Koordinator MAKI Palembang Bony Balitong menyatakan pendapatnya, “sangat membingungkan perjanjian kerjasama antara PDPDE dan PT DKLN dimana persentase saham PDPDE hanya 15%”, ucap Bony Koordinator MAKI Palembang.
“Sudah mendapat bagian saham kecil dan di beri kewajiban membayar saham yang di anggap hutang, sangat tidak masuk akal sehat”, ucap Bony selanjutnya.
“Bila di hitung secara kasar selisih harga pembelian dan penjualan gas bagian negara maka keuntungan kotor yg di dapat mendekati Rp. 1 Trilyun tapi PDPDE cuma mendapatkan bagian keuntungan kurang lebih Rp. 30 milyar dan di beri kewajiban membayar gaji pengurus perusahaan yg berasal dari mitra kerjasama”, ucap Bony kembali.
“Mewakili Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, saya meminta agar BPK RI segera menyelesaikan audit investigativenya karena sudah hampir satu tahun penghitungan audit oleh BPK RI”, pungkas Bony. (Tim)