Pemerintah Slow Respon Atau Banyak Mafia Kesehatan?

oleh
Detektifswasta.xyz

Hampir 1 Tahun, sampai saat ini Covid 19/Corona masih melanda bumi Indonesia, melihat hal ini, artinya perjuangan Indonesia melawan covid-19 belum juga usai.

Meskipun awalnya kasus kematian lebih tinggi, kini kasus pasien covid-19 yang sembuh juga jauh lebih tinggi.

Hal ini pun membuat publik resah lantaran pandemi corona sangat berdampak pada kehidupan masyarakat, terutama sektor ekonomi yang kian terpuruk.

Namun dibalik semua itu, beredar isu dan sebagian opini mengatakan bahwa Covid 19 Semakin banyak karena ada ulah Oknum Kesehatan sendiri. seperti mengutip dari berbagai pernyataan dari media, masih ada saja oknum mafia rumah sakit yg bermain untuk mencari keuntungan anggaran dari pemerintah lewat mengcovidkan pasien corona.

Dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK 02/2020 tanggal 6 April 2020 yang memuat aturan serta besaran biaya perawatan pasien Covid-19, jika seorang pasien dirawat selama 14 hari, asumsinya pemerintah menanggung biaya sebesar Rp 105 juta sebagai biaya paling rendah.
Lalu untuk pasien komplikasi, pemerintah setidaknya harus menanggung biaya Rp 231 juta per orang.

Seperti halnya ada orang/pasien dirawat terus diperkirakan Covid-19 terus meninggal, padahal hasil tes belum keluar. Setelah hasilnya keluar, ternyata negatif. Ini kan kasihan, ini sebagai contoh dari sebagian Oknum di Rumah Sakit di Wilayah Indonesia yg tidak ada tanggung jawab demi mendapatkan keutangan.

Perwakilan Kesehatan, Seperti (PPNI, PERSI, PB IDI) Membantah itu semua sebagai isu yg beredar:

Harif Fadhilah lewat PPNI menilai, jika emang benar sengaja ‘meng-Covid-kan’ pasien merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, pada wartawan dan media, dia mengatakan butuh kongkalikong tingkat tinggi karena banyak profesi di fasilitas kesehatan, mulai dari dokter, perawat, apoteker, hingga pekerja laboratorium yang terikat dengan kode etik harus terlibat. Kalau itu bisa terjadi, itu artinya konspirasi dari berbagai profesi. dan itu rasanya tidak mungkin,” kata Harif.

Lanjut dia mengatakan, oleh sebab itu jika memang ada bukti bahwa rumah sakit ‘meng-Covid-kan’ pasien yang bukan COVID-19, maka lebih baik lewat pemerintah menyerahkan bukti dan langsung menindak. Jika hanya tuduhan tanpa bukti, maka akan sangat merugikan bukan hanya terhadap rumah sakit, tapi juga “kepercayaan orang terhadap COVID-19.” “Ini menurut kami berbahaya,”

Lain Hal dikatakan Kuntjoro dari PERSI. “Jika benar dan dapat dibuktikan secara sah, PERSI sangat mendukung pemberian sanksi terhadap oknum petugas atau institusi rumah sakit yang melakukan kecurangan.”

Sementara Perhimpunan Dokter Indonesia (PB IDI) lewat Adib Khumaidi, mengungkapkan soal Isu ‘meng-Covid-kan’ pasien sebetulnya sudah muncul di media sosial dan di grup-grup percakapan beberapa bulan lalu. Sebelum dinyatakan Moeldoko dan Ganjar, dampaknya sebenarnya sudah terasa Kepada masyarakat.

Banyak yang yakin COVID-19 adalah konspirasi, sampai kemudian muncul gerakan anti masker. Ada pula masyarakat yang tidak mau dirawat dan tidak mau dites, Ini semua kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam penanganan COVID-19. Ini makin menyulitkan penanganan pandemi, pungkasnya. (El.Sam)