Detektifswasta.xyz
Lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International merilis laporan bertajuk ‘Global Corruption Barometer-Asia’ dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Wilayah Asia. Posisi pertama ditempati India diikuti Kamboja di peringkat kedua.
Peneliti Political and Public Policy Studies, Jerry Massie mengatakan, ini terjadi lantaran lemahnya hukuman di Indonesia. Selain itu, dia menambahkan, aturan terkait korupsi kerap berubah-ubah dan partai politik menjalankan sistem ‘mahar politik’.
“Bagaimana mungkin jika UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31 Tahun 1999 dan No 20 Tahun 2001 terus dipreteli dan juga hukuman kerap diringankan?
Kebijakan ajaib lagi yang mana program asimilasi dan pengurangan hukuman atau remisi,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Seperti mengutip dari Laman I News, Kamis (03/12/2020).
Untuk itu, dia menyarankan, pemerintah dan penegak hukum menerapkan sistem perampasan kekayaan kepada para pelaku korupsi. Dengan kata lain, hukum di Indonesia memiskinkan para koruptor.
“Baru koruptor akan jera. Selama hukuman masih ringan dan kebijakan lemah serta berubah-ubah maka jangan mimpi indeks persepsi korupsi (IPK) kita akan menjadi baik. Sejauh ini, sudah 300 kepala daerah tersangka korupsi dan terakhir Walikota Cimahi yang ditangkap KPK,” tegasnya.
Jerry juga mempertanyakan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya membolehkan mantan koruptor ikut pemilihan kepala daerah. Padahal sejumlah negara di dunia telah melarang para koruptor menjadi pejabat.
“Harusnya MK menolak. UU Parpol No 2 Tahun 2008 dan No 2 Tahun 2011 perlu juga direvisi yang mana para koruptor tak bisa dicalonkan mulai kepala daerah sampai presiden,” ujarnya.
“Saya heran di tengah pandemi masih sempat-sempat lagi korupsi. Untuk itu perekrutan kepala daerah jangan mantan Napi koruptor. Maling sangat sulit bertobat, pembunuh lebih cepat bertobat,” tutup Jerry.
Untuk diketahui, untuk menerbitkan laporan ini Transparency International menggelar survei terhadap 20.000 responden di 17 negara Asia sejak Juni hingga September tahun ini guna mengetahui bagaimana persepsi dan pengalaman responden terhadap kasus korupsi dalam 12 bulan terakhir.
Enam kategori pelayanan publik dinilai dalam survei ini termasuk bidang kepolisian, pengadilan, rumah sakit umum, pengurusan dokumen dan kelengkapan lainnya.
“Hampir 50 persen mereka yang menyuap melakukan itu karena diminta. Sementara 32 persen responden mengatakan mereka tidak akan dilayani urusannya jika tidak punya koneksi personal,” tulis laporan TI, seperti dilansir laman Tribune.com, Rabu (25/11)
Tingkat penyuapan di India mencapai 39 persen, di Kamboja 37 persen dan di Indonesia 30 persen.
Laporan TI mengungkap tiga perempat responden di Asia meyakini korupsi di pemerintahan adalah masalah besar di dalam negeri dengan satu dari lima orang (19 persen) mengaku membayar uang suap demi mengakses layanan publik dibanding tahun sebelumnya. Ini artinya sekitar 836 juta orang melakukan praktik kotor itu.
Sementara satu dari lima orang responden (22 persen) di Asia mengatakan mereka harus mempunyai koneksi personal untuk dapat mengakses layanan publik.
India menjadi negara terbanyak warganya memakai koneksi personal untuk mendapat layanan publik dengan angka 46 persen diikuti Indonesia di angka 36 persen dan China 32 persen.
Sementara itu Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu naik dua poin menjadi 40 dari posisi 38 pada 2018. Menurut TI, skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. (Ril/El)