detektifswasta.xyz – Indonesia
Kementerian PUPR Perbarui Aturan Segmentasi Pasar Kontraktor Kecil
BERLAKU MULAI 18 MEI 202
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menurunkan batas segmentasi pasar bagi kontraktor Usaha Kecil menjadi maksimal Rp 2,5 Miliar dari sebelumnya sebesar maksimal Rp 10 Miliar dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) No. 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia yang merupakan pengganti Permen PUPR No. 7 Tahun 2019 setelah adanya Putusan Mahkamah Agung RI No. 64 P/HUM/2019 tanggal 3 Oktober 2019 yang membatalkan Pasal 21 ayat (3) Permen PUPR 07/2019.
Muatan Pasal 21 ayat (3) uruf a, b dan c yang menentukan bahwa paket Pekerjaan Konstruksi dengan Nilai HPS sampai dengan Rp 10 Miliar disyaratkan hanya untuk penyedia jasa pekerjaan konstruksi Kualifikasi Usaha Kecil, HPS diatas Rp 10 Miliar sampai Rp 100 Miliar untuk Kualifikasi Usaha Menengah atau HPS diatas Rp 100 Miliar untuk Usaha Besar.
Ketentuan itu disebut bertentangan dengan Pasal 65 ayat (4) Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 yang mengatur bahwa nilai paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya paling banyak Rp 2,5 Miliar dicadangkan dan peruntukannya bagi usaha kecil, kecuali untuk pekerjaan yang menuntut kemampuan teknis yang tidak dapat dipenuhi usaha kecil.
Direktur Pengembangan Jasa Konstruksi Putut Marhayudi menjelaskan, perubahan segmentasi pasar dimaksudkan untuk melindungi pangsa pasar dari pelaku usaha yang memiliki kualifikasi di atasnya.
Maka kontraktor Kualifikasi Besar tidak bisa mengerjakan nilai proyek untuk segmentasi Kecil dan Menengah. Namun hal itu dikecualikan, misalnya jika ada pekerjaan termasuk segmentasi Menengah namun memiliki kompleksitas yang tidak dapat dipenuhi oleh kualifikasi M, maka dimungkinkan untuk dikerjakan oleh penyedia jasa satu tingkat di atasnya atau kualifikasi Besar
“Indonesia memiliki 130 ribu kontraktor kecil, menengah dan besar. Namun kontraktor spesialis angkanya baru mendekati 8 persen. Oleh karena itu, kita terus mendorong tumbuhnya spesialis dan kontraktor kecil untuk dapat lebih berperan. ” kata Putut dalam webinar bersama pegawai LKPP beberapa waktu lalu.
Permen PUPR No 14/PRT/M/2020 juga memuat aturan baru diantaranya mengenai Pengadaan Jasa Konstruksi di Papua dan Papua Barat. Dalam Pasal 121 dan Pasal 123, antara lain dijelaskan pengadaan langsung Jasa Konstruksi yang dipergunakan untuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, diutamakan untuk pelaku usaha orang asli Papua.
‘Sementara untuk pelaku usaha Menengah dan Besar yang mengikuti tender diharuskan memberdayaan pelaku usaha Papua dilakukan dalam bentuk kemitraan/KSO; dan/atau subkontrak. Lanjut Putut.
Aturan ini juga meniadakan reverse auction khusus untuk pekerjaan konstruksi dan konsultan konstruksi. Reverse Auction merupakan metode penyampaian penawaran harga secara berulang pada tender dan dapat dilakukan dalam hal terdapat 2 peserta tender yang lulus administrasi, teknis, dan kualifikasi.
Perubahan lain yang termasuk dalam Permen PUPR No. 14 Tahun 2020 diantaranya adalah mengenai Pengaturan Pengaduan, Persyaratan dan Tata Cara Evaluasi Tender/Seleksi, Penerapan SMKK, serta Pengaturan Kontrak Kerja Konstruksi.
Selanjutnya, apabila pengadaan jasa konstruksi yang baru sampai tahap perencanaan/persiapan harus menyesuaikan dengan ketentuan Permen PUPR No. 14 Tahun 2020. Namun apabila sudah melalui tahapan pelaksanaan pemilihan maka tetap menggunakan Permen PUPR No. 07/PRT/M/2019 hingga seluruh kegiatan selesai.
“Permen PUPR No. 14 tahun 2020 diperuntukkan bagi pelaksanaan Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi melalui Pengadaan Langsung, Tender Terbatas, atau Seleksi/Tender di lingkungan Kementerian/Lembaga, atau perangkat Daerah yang pembiyaannya dari APBN atau APBD”, demikian bunyi Pasal 3 Permen PUPR No. 14 Tahun 2020 tanggal 15 Mei 2020 yang diundangkan (mulai berlaku) tanggal 18 Mei 2020 (wlkpp/dbs/ps)
SIKAP KAMI
Etika Pengadaan Barang/Jasa
Pelaksanaan tender yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan atau melanggar “asas kepastian hukum” merupakan pelanggaran terhadap Etika Pengadaan.
Pasal 7 Ayat (1) Huruf g Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai yakni menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi.”
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik merupakan acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan. Hal ini telah dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang bunyinya: “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pengertian ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme menyebutkan: “Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.”
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
Penjelasan ini tercantum dalam penjelasan Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran terhadap “Asas Kepastian Hukum” merupakan pelanggaran terhadap Etika Pengadaan Pengadaan Barang/Jasa, yaitu melanggar ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Huruf g Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (tim)