Mabes Polri Perkirakan 6000 Teroris Jaringan JI Masih Aktif, Dapat Dana dari Modus Kotak Amal

oleh
Detektifswasta.xyz

Mabes Polri mengungkapkan bahwa penangkapan 23 terduga teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah (JI) di sejumlah kota di Sumatera mengungkap fakfa baru. Dari pengakuan beberapa tersangka, sekitar 6000 jaringan JI masih aktif.

23 tersangka yang dikirim dari Lampung ke Jakarta untuk memudahkan pemeriksaan oleh Densus 88. Memudahkan untuk dimintai keterangan. Seperti diberitakan sebelumnya, mengutip dari Laman CNN Indonesia, dari 23 terduga teroris itu termasuk Upik Lawanga dan Zulkarnaen.

Upik merupakan anggota JI yang mendalangi beberapa aksi teror, seperti Bom Tentena, Bom GOR Poso, dan Bom Pasar Sentral sedangkan Zulkarnaen berperan menyembunyikan Upik. Zulkarnaen adalah pimpinan Askari Markaziah JI. Ia merupakan pelatih akademi militer di Afganistan selama 7 tahun.

Zulkarnaen juga adalah arsitek kerusuhan di Ambon, Ternate, dan Poso pada tahun 1998 sampai 2000. Ia juga merupakan otak dari peledakan kediaman duta besar Filipina di Menteng pada 1 Agustus 2000. Lalu, peledakan gereja serentak pada malam Natal tahun baru 2000 dan 2001.

Kasus bom Bali 1 tahun 2002, kasus bom Marriott pertama tahun 2003, kasus bom Kedubes Australia 2004, kasus bom Bali 2 tahun 2005. Dia sudah menjadi DPO selama 18 tahun.

Teranyar, mereka mendapatkan sumber dana dari kotak-kotak amal yang disebar di sejumlah tempat di Indonesia. Kotak amal itu menggunakan beberapa nama yayasan resmi agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat.

“Ciri-ciri spesifik yang mengarah ke organisasi teroris tidak ada karena bertujuan agar tidak memancing kecurigaan masyarakat dan dapat berbaur,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono kepada wartawan di Mabes Polri, Kemarin, Jumat (18/12/2020).

Argo menjelaskan ada dua metode pengumpulan dana untuk JI yaitu dengan menggunakan kotak amal dan pengumpulan secara langsung melalui acara-acara tabligh. “Pendanaan mereka dari kotak amal, dari menyisihkan pendapatannya, juga dari Yayasan One Care,” ujarnya

Dalam metode kotak amal, mereka menggunakan nama yayasan resmi yang mencantumkan nama dan kontak yayasan, nomor SK Kemenkumham, Baznas dan Kemenag, serta melampirkan majalah yang menggambarkan program-program yayasan.

“Penempatan kotak amal mayoritas di warung-warung makan konvensional karena tidak perlu izin khusus dan hanya meminta izin dari pemilik warung yang biasanya bekerja di warung tersebut,” kata dia.

Untuk mempertahankan legalitas yayasan tersebut, mereka tetap melaporkan jumlah pemasukan dari kotak amal setelah dipotong terlebih dahulu untuk pemasukan organisasi JI.

“Laporan keuangan tersebut yang nanti akan dilaporkan kepada BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) per semester agar legalitas kotak amal tetap terjaga,” kata mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini.

Selain metode kotak amal, mereka juga melakukan penggalangan dana pada acara-acara tertentu yang biasanya disebutkan untuk membantu para korban konflik di Suriah dan Palestina.

“Uang infak dikumpulkan dengan cara membuat acara-acara tabligh yang menghadirkan tokoh-tokoh dari Suriah atau Palestina,” katanya.

Dari penyelidikan Polri, metode kotak amal ini dilakukan dengan mencantumkan nama Yayasan Abdurrahman Bin Auf (ABA) dan FKAM. Sementara untuk metode pengumpulan langsung menggunakan nama Yayasan Syam Organizer (SO), One Care (OC), Hashi dan Hilal Ahmar.

Dalam mengumpulkan dana, belum pernah ditemukan Jamaah Islamiyah menggunakan nama yayasan palsu.

Dari pemeriksaan tersangka Fitria Sanjaya alias Acil dari Yayasan ABA, didapatkan informasi sebaran kotak amal mereka di seluruh Indonesia mencapai 20.068 kotak dengan rincian yakni Sumut 4.000 kotak, Lampung 6.000 kotak, Jakarta 48 kotak.

Kemudian, Semarang 300 kotak, Pati 200 kotak, Temanggung 200 kotak, Solo 2.000 kotak, Yogyakarta 2.000 kotak, Magetan 2.000 kotak, Surabaya 800 kotak, Malang 2.500 kotak dan Ambon 20 kotak. (Ril/El)