Lebih Dari 37 Ribu Hektare Hutan di Wilayah Sumsel Terkena Deforestasi

oleh
Detektifswasta.xyz

Sumsel,- 37.170 Hektare hutan di Sumatera Selatan mengalami deforestasi atau hilangnya hutan sepanjang 2019 dan 2020. Penyebabnya karena infrastruktur, pertanian, perkebunan, kebakaran, hingga perambahan liar.

Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Aidil Fitri saat memaparkan presentasi dalam Outlook Series Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, Rabu (6/1). Outlook ini digelar 20 Desember 2020 hingga 29 Januari 2021 dengan berbagai tema.

Aidil menjelaskan, deforestasi terbanyak berada di Banyuasin seluar 21.954 hektare, disusul Musi Banyuasin (9.976 hektare), Muara Enim (2.038 hektare), Ogan Komering Ilir (1.724 hektare), Ogan Komering Ulu (766 hektare), Ogan Komering Ulu Selatan (576 hektare), Ogan Komering Ulu Timur (81 hektare) dan Lahat (55 hektare). Hal ini mengancam kondisi hutan di provinsi itu secara keseluruhan.

“Infrastruktur, pertanian, perkebunan, karhutla, dan perambahan, menjadi penyebab deforestasi di Sumsel, sangat luas dan menyebar di sejumlah daerah,” ungkap Aidil.

Terbaru, ancaman deforestasi terjadi akibat pembangunan jalan tambang di kawasan hutan Harapan yang berada di perbatasan Sumsel-Jambi, tepatnya di Sungai Lalan, Musi Banyuasin. Jalan tambang itu akan merusak hutan di sana yang selama ini kondisinya berkualitas dan terjaga oleh suku anak dalam.

“Jika jalan tambang ini beroperasi, maka Sumsel harus bersiap kehilangan hutan yang berkualitas. Bencana ekologi dan konflik masyarakat menjadi rentan terjadi,” kata dia.

Pakar komunikasi lingkungan UIN Raden Fatah Palembang Yenrizal mengatakan, lingkungan merupakan persoalan bersama yang perlu disampaikan ke publik karena bukan hanya berkaitan dengan manusia tetapi juga berpengaruh terhadap ekosistem di bumi. Peran besar semestinya dilakukan pemerintah selaku pengambil kebijakan, termasuk juga pelaku usaha.

“Pelaku usaha bertanggung jawab terhadap lingkungan karena dampak industri yang tak jarang memiliki konsekuensi negatif terhadap kelestarian lingkungan. Sayangnya, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan terbilang masih lemah ,” terangnya.

“Peran media sangat besar agar mengingatkan dan membuat kepercayaan bersama. Media diharapkan sebagai kontrol sosial, tentu berdasarkan data dan fakta,” tutupnya. (Ril/el)