detektifswasta.xyz – Indonesia
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Vunny Wijaya mengatakan, sejumlah praktik big data di Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah sektor bisnis dan pemerintah. Misalnya, platform belanja daring, perbankan, transportasi daring, dan termasuk sejumlah kementerian/lembaga negara dan pemerintah daerah.
TII menilai sudah saatnya pemerintah mengedepankan pengesahan, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19, kebutuhan terhadap big data semakin menguat sehingga praktik pemanfaatannya menjadi sebuah urgensi, Sabtu 10 Oktober 2020.
TII mengungkapkan beberapa negara sudah mengadopsi dan mengadaptasi big data. Mereka antara lain Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan yang juga menjadi sederet negara terbaik dalam mencegah dan menangani pandemi Covid-19, mengutip dari laman sindonews.
“Big data secara literal artinya kumpulan data yang berkapasitas besar atau banyak. Sistem big data ini terintegrasi secara daring. Pada sektor pemerintah, pemanfaatan big data ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menerapkan kebijakan berbasis bukti yang mengedepankan prinsip transparansi,” kata Vunny dalam keterangan tertulisnya.
Namun, sejumlah tantangan ditemukan. Selain upaya mendasar dalam mempersiapkan ekosistem teknologi berupa internet dan fasilitasnya yang lebih merata, tantangan lainnya juga mencakup kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten.
“Praktiknya terbilang rumit karena manajemen big data membutuhkan perangkat teknologi yang lebih canggih daripada komputer biasa dan kemampuan teknis yang dibutuhkan pun sangat beragam, seperti, pemodelan data (data modelling), scripting, programming, data mining, dan lain-lain,” katanya.
“Dengan demikian, dalam hal ini, pemerintah harus memetakan dan memperlebar kapasitas aktor-aktor strategisnya terlebih dahulu, dan apa saja peranannya,” lanjut Vunny. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) misalnya, berperan dalam menyiapkan ekosistem teknologi termasuk pemerataan jangkauan internet di Indonesia beserta pengembangan sistem dan edukasi keamanan siber.
Selain itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang berperan dalam menyiapkan berbagai SDM yang kompeten. Begitu juga peranan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) untuk memimpin berbagai kerjasama karena big data memerlukan dan memungkinkan kolaborasi dengan banyak sektor, baik antarlembaga negara dengan sektor swasta maupun dengan negara lain sebagai mitra.
Terakhir, peranan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam mengupayakan strategi keamanan siber yang lebih baik di Indonesia. Vunny menilai, upaya besar harus dilakukan Kominfo dan BSSN. Apalagi bila dikaitkan dengan dugaan kebocoran data penduduk terjadi di sektor publik. Misalnya, dugaan kebocoran data yang terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei lalu.
Ketika itu, beredar laporan dugaan kebocoran data 2,3 juta warga dan pemilih Indonesia di salah satu situs bernama RapidForums. Penjual datanya mengaku mendapat data tersebut dalam format Portable Document Format (PDF) secara resmi dari KPU. Padahal, KPU sudah mempraktikkan sistem big data sejak 2014
“Sedangkan, RUU Perlindungan Data Pribadi kita juga belum disahkan. Padahal RUU ini sangat penting untuk menangani kasus-kasus yang terjadi, sehingga ini menjadi catatan merah pelaksanaan big data di negara kita,” katanya.
Lantaran itu, Vunny mengingatkan, jika pemerintah akan memperluas praktik big data, maka payung hukum terkait perlindungan data pribadi ini harus segera dibahas kembali dan disahkan terlebih dahulu. Dengan begitu, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pelaku, maka dapat segera diusut dan ditindak tegas. (ali)