detektifswasta.xyz – Indonesia
Tugas relawan pemulasaraan jenazah dengan protokol pasien virus Corona (Covid-19) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kudus diwarnai suka duka. Seperti yang dirasakan salah satu relawan, Kristanto (39). Kristanto menjadi relawan di BPBD Kudus sejak tahun 2006 silam. Saat ini ia menjadi tim pemulasaraan jenazah virus Corona. Suka dan duka ia rasakan saat menjadi tim untuk mengurusi jenazah pasien virus Corona.
“Suka duka, kalau dukanya kalau dari tim desa tidak ada, harus sendiri pemakaman dari memasukkan jenazah sampai pengurukan itu. Senangnya sih bisa menolong membantu orang belum kita kenal begitu,” kata Kristanto saat ditemui di kantor BPDB Kudus, Rabu (22/6/2020).
Gundul, begitu sapaan akrabnya oleh teman-teman relawan, mengatakan semenjak tiga bulan terakhir ia bersama timnya harus bekerja keras. Apalagi, jumlah orang meninggal dengan pemakaman protokol virus Corona meningkat. Bahkan dalam sehari bisa memakamkan sejumlah jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) ataupun pasien yang terkonfirmasi positif Corona.
“Sehari sampai empat lima orang pernah. Itu karena ada beberapa rumah sakit yang bekerja sama dengan BPBD dengan kami,” terang pria yang tinggal di Desa Peganjaran RT 1 RW 3, Kecamatan Bae ini.
Menurutnya, dalam pelaksanaan pemulasaraan jenazah selalu dilengkapi dengan alat pelindung diri secara lengkap. Tidak hanya itu, protokol kesehatan seperti mandi, hingga minum vitamin ia lakukan. Karena pekerjaannya sangat rentan risiko ancaman kesehatan. “Rapid (test)sudah, swab belum.
Hasilnya negatif,” kata dia. Ketika menjadi tim pemulasaraan ia tidak berpikir untuk mendapatkan upah. Ia semata-mata bekerja membantu orang lain. “Ya kalau pada dasarnya relawan tidak meminta upah. Kita memang dari hati membantu pemakaman Covid-19 dari beberapa daerah begitu pemakaman yang sangat riskan dari tim membantu itu,” kata Gundul.
Tidak sampai di situ, Gundul harus rela jauh dari keluarganya. Ia harus melakukan isolasi mandiri. Uniknya, bapak dua anak ini memilih isolasi mandiri di dalam tangki air di kantor BPBD Kudus. Dari pantauan, ia tinggal di dalam tangki air. Tampak di dalamnya ada selimut dan bantal.
Di luar tangki air ada kayu melintang yang digunakan untuk menjemur pakaian. “Kalau habis pemakaman kita mandi, istirahat, minum vitamin, isolasi sendiri. Bagi teman-teman isolasi mandiri (ruangan yang ada di kantor BPBD Kudus). Sedangkan saya memilih di sini tangki air, karena aman, nyaman dan tidak terlalu bising,” ujarnya.
Ia juga mengaku harus jauh dari keluarga. Pernah saat isolasi mandiri di tangki air, ia dijenguk istri bersama anaknya. Namun setelah itu tidak menjenguk lagi. Karena khawatir akan potensi tertular virus Corona. Tak jarang ia harus video call untuk menghubungi istri dan anak-anaknya. Itu dilakukan untuk melepas bosan saat menjalani isolasi di dalam tangki air.
“Hubungan dengan keluarga saya video call saja. Selama ini, karena pernah jenguk bawa nasi setelah itu dia tidak menjenguk lagi,” ungkapnya. Kepala BPBD Kudus Bergas C Penanggungan mengatakan, relawan pemulasaraan awalnya dibentuk karena keterbatasan personel dari tim kesehatan penanganan Covid-19 Kabupaten Kudus. Akhirnya dari BPBD Kudus membentuk tim relawan pemulasaraan untuk membantu warga.
“Relawan ada 10 orang. Tapi sekarang sudah berkembang menjadi 13 orang,” kata Bergas di kantor BPBD Kudus. Bergas mengatakan, keberadaan relawan bukan tidak diperhatikan. Relawan ini memiliki panggilan jiwa untuk membantu orang lain. “Keberadaan mereka ini adalah relawan.
Bukan berarti tidak diperhatikan. Relawan banyak tapi masing-masing punya panggilan jiwa. Kalau itu (insentif) memungkinkan bisa memberikan. Hanya saja dihitung betul jangan sampai niatan membantu berbeda. Mereka kebatinannya kejiwaannya panggilan hati untuk berpartisipasi,” terangnya.
Terkait dengan adanya relawan yang tinggal di tangki air, ia tidak mempermasalahkan. Menurutnya dari BPBD sudah menyiapkan ruangan untuk isolasi dan berinteraksi bersama tim relawan pemulasaraan jenazah Covid-19.
Hanya setiap relawan memiliki kenyamanan sendiri hingga ada yang memiliki tidur di tangki air. “Memang awal-awal keluarga meminta tim tidak pulang dulu. Kita BPBD memang menyiapkan ruangan untuk berinteraksi bersama tim di aula BPBD. Akhirnya ini rumah mereka hanya tidak semua bisa menerima artinya fasilitas yang ada kurang nyaman, nyamannya di mana tergantung masing-masing,” ujar Bergas.(dtc)